Wangseja-ui Hwa : THE PEACH BLOSSOMS

Wangseja-ui Hwa :  

THE PEACH BLOSSOMS

IMG_20131002_091544

By :

Chelsea 

|Fantasy/Mystery/Thriller| PG 13 | One shot|

 Casts :

Yeo Jin-goo, Kim So-hyun

Park Gun-tae, Seo Shin-ae, Park Ji-bin

Jin Ji-hee

peach blossoms

 

Malam ini, Yeo Jin-goo baru saja menyelesaikan syuting sebuah drama kolosal berjudul Wangseja-ui Hwa (Crown Prince’s Blossom). Dia memerankan putera mahkota, Lee Ryung. Jin-goo berjalan menyusuri selasar istana peninggalan kerjaan Joseon itu. Managernya menunggu di tempat parkir.

 Istana Gyeongbok di malam bulan purnama itu cukup hening.Angin menerpa wajah pemuda itu dan membuatnya menoleh ke arah angin datang. Dia melihat siluet seseorang di taman. Ada seorang gadis muda memakai hanbok[1]nuansa peachsedang berjalan meninggalkan taman.Dia menolehdan keduanya saling  menatap sesaat. Dia tersenyum kecil tanpa ekspresi lalu pergi begitu saja.

Hyung[2], apa tadi kau melihat seorang gadis yang memakai hanbok warna peach di taman?” tanya Jin-goo pada managernya saat duduk di dalam mobil.

Marc Jung menggeleng, “Tidak,” jawab pria blesteran Perancis-Korea itu.

Hanbok-nya seperti pakaian puteri Joseon,” tambah Jin-goo.

 “Bukankah Jung Minseo tidak ada jadwa syuting?” tanya Marc  menyebut aktris berumur 9 tahun pemeran puteri Hyesun.

“Bukan, dia seumur Sohyun dan Shin-ae.” Jin-goo menyebut aktris di drama itu.

peach blossoms

Hyangwonjeong_Pavilion_in_Spring_l

Di pagi buta, Jin-goo sudah ada di istana Gyeongbok menunggu giliran syuting. Dia memakai hanbok yang biasa dipakai putera mahkota zaman Joseon.

Dia jalan-jalan di dekat pavilium Hyangwon. Jin-goo berjalan di jembatan Chwihyanggyountuk sampai di pulau di tengah danau buatan, Hyangwonji. Jin-goo diam di tengah jembatan dan menatap air yang tenang.

Di permukaan air, dia melihat refleksi seorang gadis berdiri di sampingnya. Jin-goo menoleh dan melihat gadis cantik yang memakai hanbok warna peach.

Annyeong!” sapa remaja tanggung yang tampan itu.

Gadis bermata indah itu tersenyum manis. “Annyeong, Jeoha[3]!”

Jin-goo terkekeh. “Apa kau aktris baru di drama Wangseja-ui Hwa?”

Gadis itu tersenyum. “Aku puteri yang namanya dihapus dari sejarah.”

Jin-goo tertawa lagi. “Wah aku baru tahu ada peran baru. Namamu siapa?”

“Insun. Aku 14 tahun,” jawab gadis itu. Melihat Jin-goo hanya tersenyum menanggapinya, dia melanjutkan, “Jeoha, aku pernah dengar ada seorang puteri Joseon yang suka bermain pavilium Hyangwonjeong.”

“Kau tahu dari mana?” tanya pemuda yang punya kulit kecokelatan itu.

Insun malah bercerita. “Puteri itu kehilangan sepasang dwikkoji[4] di sana.”

“Sebenarnya dongeng apa yang kau baca?” tanya Jin-goo.

“Itu kisahku, Insun Gongju[5],” jawab Insun sambil tertawa kecil.

Jin-goo mendengus. “Aish! Jadi itu kisah karakter yang kau perankan ya?”

“Bukan. Aku Insun, puteri yang namanya dihapus dari sejarah.”

Jin-goo tertawa. “Insun itu namamu atau nama peranmu?”

“Yeo Jin-goo!”

Jin-goo menoleh ke sekeliling mendengar seseorang berteriak memanggil namanya. Dia tidak melihat siapapun di sana. Termasuk Insun yang sudah hilang. Jin-goo merasa bahunya dipukul. Pandangannya buram dan semuanya gelap.

Jin-goo mengerjapkan mata, melihat seorang pemuda duduk di sampingnya. Dia tadi tertidur di mobil dan bermimpi.

“Guntae Hyung?” tanya Jin-goo pada seorang pemuda tampan berkulit putih.

“Kau pikir aku siapa, huh? Lee Gwang?” tanya Park Guntae, menyebut nama perannya di drama Wangseja-ui Hwa. “Kita sampai di depan Le Café des Arts.”

peach blossoms

1794248_image2_1

Jin-gu bergabung dengan empat partner dramanya,  Park Jibin, Park Guntae, Seo Shin-ae dan Kim Sohyun. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja di dalam Le Café des Arts. Café di distrik Jung kawasan Seoul utara itu menyajikan menu ala Barat. Mereka sedang makan malam, merayakan selesainya masa syuting peran remaja para tokoh utama drama.

Let’s play truth or dare,” ajak Park Jibin, aktor cilik berkulit kecokelatan itu.

Cara mereka bermain cukup unik. Mereka bergiliran memakan satu sendok setiap makanan yang berada di meja. Yang mendapat giliran terakhir, harus memilih tantangan. Pertama, mereka memakan French onion soup sampai Sohyun mendapat jatah terakhir.

Truth or Dare?” tanya Jibin.

 “Dare,” jawab Sohyun ragu lalu dia memohon, “Tapi tolong tunda nanti saja.”

 “Kenapa?” tanya semua.

Sohyun tersenyum kaku. “Tidak di sini, jebal.” Gadis yang rambutnya dikepang dua itu memasang ekspresi memelas.

“Baiklah, kita tunda nanti,” ucap Jibin.

Permainan dilanjutkan. Giliran goat cheese salad pesanan Shin-ae yang tinggal separuh. Shin-ae pun harus menghabiskan sodokan terakhir.

Truth,” ucap Shin-ae pasrah.

Sohyun berkata, “Ceritakan pengalaman paling memalukan selama syuting.”

Shin-ae meremas ujung dress-nya. Dia cemberut tapi akhirnya bercerita. “Di hari terakhir syuting di istana. Sore itu aku bersiap pulang…”

Shin-ae melihat kupu-kupu warna peach melintas di depan wajahnya. Kupu-kupu itu terbang menjauh lalu hinggap di atas pundak seorang gadis yang berdiri di depan Shin-ae dengan posisi membelakanginya, menghadap pohon cherry.

Shin-ae mengira gadis itu Sohyun.  “Sohyun-ah. Kenapa kau di sini?”

Gadis itu tidak menjawab dan menatap cherry blossom yang bermekaran.

“Sohyun-ah,…” ucapan Shin-ae terpotong karena perutnya terasa sakit.

Sebuah bunyi tidak lucu terdengar. Terdengar tawa kecil dari gadis yang memakai hanbok itu. Shin-ae memegang perutnya. Dia baru saja kentut.

Mianhae Sohyun-ah. Aku sembelit. Jangan bilang siapa-siapa ya?”

Gadis itu membalikan tubuh. “Aku bukan Sohyun, Jung Hyoeun,” ucapnya menyebut nama peran Shin-ae dan mengejutkan gadis imut itu. “Insun Gongju imnida,” lanjut si hanbok warna peach itu.

  peach blossoms

“Siapa?” Jin-goo terkejut. ‘Aku merasa pernah mendengar namanya.’

“Mungkin aktris pemeran puteri. Aku tidak tahu namanya,” jawab Shin-ae.

“Aku langsung minta maaf dan lari. Memalukan sekali,” lanjut gadis yang mengenakan dress putih selutut itu..

Jin-goo tertegun  lalu bertanya.“Apa dia memakai hanbok warna peach?”

Si imut Shin-ae mengangguk. “Ye. Kau mengenalnya?”

“Siapa puteri Insun?” tanya Sohyun. “Apa itu nama peran baru?”

Jibin dan Guntae mengangkat bahu mereka dan Jin-goo terus berpikir. ‘Apa dia gadis yang sama dengan yang tadi aku mimpikan?’ guman Jin-goo.

Guntae berkata, “Mungkin pengunjung. Setahuku tak ada peran puteri Insun.”

Permainan pun dilanjutkan. Kali ini mereka menghabiskan Ribeye Steak yang tinggal setengahnya. Irisan terakhir jadi milik Ken. Lalu Jibin memilih Dare.

Sprint di Doldam-gil, maksimal 9 menit,” ucap Shin-ae dengan senyum licik.

Mworago?” Jibin melonjak kaget membayangkan sprint 900 meter.

Guntae menyetujui. “Bungkus dessert dan kita lanjutkan game di perjalanan.”

 

peach blossoms

17232F1C4CD4BEA880E124

Mereka berlima berangkat ke istana Deoksu dengan mobil Jin-goo. Jibin kini berdiri di Doldam-gil, di samping istana Deoksu. Dia membetulkan topinya sambil menatap jalanan berbatu yang membentang sepanjang tembok istana. Keempat temannya melambai memberi semangat sebelum mobil melaju. Mereka menunggu Jibin di ujung jalan.

Jibin mengatur nafas lalu mulai berlari, tak peduli lingkungan sekeliling. Saat berlari, pemuda yang tampil stylish dengan kemeja dibalut jaket denim itu melihat beberapa orang menikmati suasana jalan kaki di malam musim semi itu. ‘Untung tidak ada yang mengenaliku.’ Jibin merasa lega.

Beberapa meter di depannya ada sebuah pohon cherry yang sedang berbunga. Bunga-bunga sakura itu melintang melewati ujung tembok. Jibin menatapnya  sambil tetap berlari. Saat dia melintasinya, angin bertiup menggoyangan ranting dan bunga. Jibin berhenti dan menengadah, takjub melihat keindahan bunga itu.

“Kau mau ke sini?”

Jibin mendengar suara seseorang. Dia melihat seorang gadis di ujung tembok.

Jibin melonjak, “Hey, kau sedang apa?”

Gadis itu malah tersenyum. Dia mengulurkan balok kayu pada Jibin yang memakai jaket merah dan jeans itu. “Aku akan membantu memanjat dinding ini.”

Jibin memperjelas penglihatan. Gadis itu memakai hanbok.

 “Cepat! Sebelum orang lain melihatmu,” ucap gadis itu.

Jibin melihat kiri kanan, tidak ada orang. Meski logikanya meragukan seorang gadis bisa menariknya, tapi Jibin melompat dan menggapai balok kayu itu. Jibin mulai memanjat dinding istana Deoksu yang tingginya dua kali tinggi tubuhnya. Setelah bersusah payah, Jibin sampai di atas tembok itu. Gadis itu tiba-tiba saja sudah duduk di dahan pohon cherry lalu menyuruh Jibin duduk di sampingnya.

“Kau siapa? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Jibin saat duduk di dahan.

“Insun gongju imnida[6],” jawab gadis yang mengenakan hanbok kerajaan itu.

“Sepertinya aku pernah dengar,” guman Ken.

“Tuan muda Shin Yongha,” panggil gadis berkulit putih dan bermata sipit itu.

Jibin terkekeh mendengar nama perannya di drama Wangseja-ui Hwa. “Ya?”

Gadis itu tersenyum. “Suruh Seja[7] pergi ke pavilium Hyangwonjeong.”

“Apa?” tanya Jibin bingung. Dia melihat gadis itu menyeringai dingin.

“Lee Ryung,” ucap gadis itu. Menyebut peran Jin-goo di drama itu.

 “Kau bilang apa?” tanya Jibin dengan suara keras.

Tatapan gadis itu berubah menakutkan dan wajahnya sangat pucat. “Kalau tidak, kau akan ditemukan mati di Doldam-gil besok pagi,” bentaknya.

Hawa dingin terasa kuat sampai ke sumsum Jibin. “Nu–nuguya?”

 Tiba-tiba gadis itu sudah berdiri di atas tanah. “Cepat, Shin Yongha!”

Angin kencang menerpa pohon cherry sampai Jibin tak sanggup membuka mata. Dia merasa angin mendorong kuat tubuhnya. Jibin merasa terbang dan…

Buk! Jibin merasa tubuhnya menghantam benda keras. Lalu dia terkejut mendapati dirinya terbaring di jalanan dinding batu. Jibin melihat ke sekeliling. Banyak orang  berada di dekatnya dan tertawa.

“Kenapa kau tidur di sini, anak muda?” tanya salah satu dari mereka.

Jibin kebingungan. Tapi rasa sakit akibat jatuh tadi terasa nyata. Jibin merinding dan memutuskan untuk lari secepatnya.

peach blossoms

“Kenapa lama sekali?” tanya Guntae saat Jibin tiba dan mengetuk pintu mobil.

Jibin segera masuk lalu meraih sebotol air mineral dan meneguknya cepat. Lalu mereka memakan cheese cake secara bergiliran sampai habis. Jibin mengatur agar Jin-goo tidak mendapat potongan terakhir. Guntae yang mendapatkannya.

“Pergi ke Bukchon, temukan pohon peach di depan sebuah hanok[8],” ucap Jibin pada Guntae. “Petik bunga peach sebanyak-banyaknya.”

“Apa?” Guntae melonjak. “Micheosseo, Jibin-ah?” keluh pemuda tinggi  yang mengenakan sweater putih bahan wool itu.

Mobil yang dikendarai supir pribadi Jin-goo memasuki distrik Jongno yang terletak di utara distrik Jung. Mobil berhenti di sekitar Bukcheon Hanok Village.  

peach blossoms

     124DC1424F3794EF1D6420

Guntae turun dan akan melakukan misi Dare yang diberikan Jibin. Misi berat mengingat ada ratusan hanok di sana. Dia menyusuri jalanan menanjak dan gang-gang kecil di kompleks yang luas itu. Tapi sudah lebih dari setengah jam,  pemuda yang punya mikly skin itu belum menemukan hanok yang dicarinya.

Angin yang turun dari gunung Bukhansan membuat malam musim semi itu terasa dingin. Bahkan sweater hitam tebal yang dia pakai tak membuatnya hangat. Dia bertanya pada seorang wanita yang ada di jalan.

“Rumah itu punya jarak sama jauh menuju Istana Gyeongbok, Istana Changdeok and kuil Jongmyo.” Wanita itu menyebut tempat di dekat Bukchon.

Guntae melangkah kebingungan di jalanan gang yang menanjak. Tapi dengan bantuan GPS melalui smartphone-nya, dia menemukan tempat yang punya jarak sama jauh ke tiga tempat yang disebut wanita tadi. Dia pun melihat bunga-bunga peach bermekaran di atas pohonnya, di halaman sebuah hanok yang cukup besar. Lalu Guntae mendekati gerbang, mencoba membukanya tapi tidak bisa.

Guntae memanjat dinding yang tidak terlalu tinggi itu. Angin bertiup kuat, menerbangkan beberapa kelopak bunga. Dia mendekati pohon peach. Lalu  meloncat dan mematahkan sebatang ranting yang dipenuhi bunga.

“Gwang Oraboeni[9]?” seseorang memanggil Guntae seperti adik Lee Gwang, tokoh pangeran yang Guntae mainkan di drama Wangseja-ui Hwa.

Guntae membalikan tubuh, melihat seorang gadis di sana “Kau siapa?” Lalu dia tersenyum percaya diri, mengira gadis itu penggemar dramanya.

“Insun Gongju imnida,” jawab gadis yang memakai hanbok warna peach itu.

Guntae tertawa kecil. “Gongju?” tanyanya sambil memperhatikan hanbok yang dipakai gadis itu, rok warna jingga dan atasan warna peach.

Insun gemetaran melihat bunga peach di tangan Guntae. “Buang bunganya!”

 “Tidak bisa. Aku harus memberikan bunga ini pada temanku. Kenapa?”

Gadis itu mundur. “Orabeoni sedang bermain dengan teman-temanmu?”

“Ya. Kenapa?”

“Suruh Seja Jeoha pergi ke pavilium Hyangwonjeong,” jawab gadis itu.

Seja Jeoha?” tanya Guntae bingung. “Makudmu Jin-goo?”

Ye. Suruh dia mencari dwikkoji bunga peach di dekat Hyangwonjeong.”

 

Yeo Jin-goo mendapat giliran terakhir pudding yang sudah mereka potong bergiliran. Guntae memaksanya memilih dare lalu mengatakan tantangannya.

“Temukan jepit kuno berbentuk bunga peach di Hyangwonjeong.” 

peach blossoms

Tak lama kemudian, Jin-goo memasuki istana Gyeongbok ditemani Guntae. Jibin memilih diam di mobil bersama Sohyun, Shin-ae dan supir. Dia takut mendengar tantangan Guntae untuk Jin-goo.

Guntae dan Jin-goo pura-pura ingin menyaksikan syuting. Setelah beberapa saat, Jin-goo pergi sendirian menuju pavilium Hyangwonjeong. Dia menyusuri selasar dan jalanan yang mengantarnya mendekati danau Hyangwonji. Jin-goo mendengar dan merasakan tiupan angin memasuki jembatan Chwihyang. Ranting dan dedaunnya bergoyang. Tampak juga bunga sakura yang beterbangan.

1968DB485095EED6022CCD

Jin-goo menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang terasa beku. Angin datang lagi, sampai menimbulkan suara riak air dan membuat Jin-goo melihat ke gelombang kecil di permukaan danau. Pemuda yang punya kulit kecokelatan itu merasa melihat siluet seseorang dari refleksi air. Dia menoleh ke belakang tapi tapi tak ada siapapun. Sebersit perasaan aneh hinggap di benaknya tapi dia terus melangkah.

Saat kakinya menginjak pulau buatan itu, angin yang lebih kencang menerpa tubuhnya. Jin-goo menggigil dan merapatkan jaket kanvas hitamnya yang tebal.

 “Wangi apa ini?” guman pemuda yang punya wajah tampan manly itu begitu sesuatu terasa oleh indera penciumannya, aroma floral yang lembut menguar begitu kuat.

 “Kau sudah datang, Jeoha?”

Jin-goo kaget. Tiba-tiba saja seorang gadis yang memakai hanbok muncul dan menyebutnya jeoha sudah berdiri di sampingnya. “Kau…siapa?” tanyanya.

Gadis itu melangkah lebih dekat. “Bukankah kita bertemu sebelumnya?”

Wajah cerdas Jin-goo menampakaan bingung dan memperhatikan gadis itu. “Kau juga pemeran drama Wangja-ui Hwa?”

Gadis itu diam sejenak dan menatap Jin-goo. “Kau mencari dwikkoji?”

Jin-goo mengangguk ragu. “Dari mana kau tahu?”

Gadis itu berjalan mendekati pavilium. “Aku tahu di mana tempatnya.”

Perasaan Jin-goo semakin tidak karuan. Tapi dia mengikuti langkah gadis itu. ‘Dwikkoji? Kenapa aku merasa gadis itu pernah mengatakan hal yang sama?’

Gadis itu berhenti di belakang pavilium. Jin-goo merasa aroma parfum yang tadi dia cium kembali terasa. Wangi yang lembut dan damai. Gadis itu menoleh.

“Tujuh langkah dari sudut kanan belakang pavilium,” ucap gadis itu lalu menghitung langkah dari sudut yang dimaksud.

Jin-goo mendekat. “Lalu? Mana dwikkoji-nya?”

Gadis itu menyeringai. “Kau harus menggalinya. Geokjeongmal, itu tidak terlalu dalam.”

Jin-goo menghela napas. Bingung harus menggali tanah dengan apa.

“Ini,” seru gadis itu sambil mengasongkan belati yang tajam pada Jin-goo.

Jin-goo seolah tersihir oleh senyum kecil gadis itu dan dia menurut. Jin-goo jongkok dan mulai menggali tanah sedikit demi sedikit. Setelah beberapa saat, terbentuk lubang dengan diameter sekitar 30 cm. Lalu Jin-goo menggunakan kedua tangannya untuk menyingkirkan tanah. Tangannya menyentuh benda keras.

“Di sana,” seru gadis itu. “Cepat gali!”

Jin-goo menyingkirkan tanah dan menemukan kotak kecil dengan design klasik. Jin-goo berdiri dan menyodorkan kotak itu. “Ini?” tanyanya.

Gadis itu tersenyum ceria. “Ya. Tolong buka!” pintanya.

Jin-goo membukanya. Ada dua dwikkoji cantik berbentuk bunga peach.

Mata gadis itu berbinar. “Bisakah kau memasangkannya?” pintanya lagi.

Jin-goo menyentuh dwikkoji itu lalu hawa dingin terasa menusuk tubuhnya. Tangannya gemetaran. Jin-goo menatap gadis itu, mengingat mimpinya.

“Ada seorang puteri yang suka bermain di pavilium Hyangwonjeong. Puteri itu kehilangan sepasang dwikkoji di sana. Insun Gongju imnida.”

Jin-goo gemetaran. Dia juga ingat cerita kentut Shin-ae, bertemu gadis yang mengaku puteri Insun. “Kenapa tidak kau pasangkan sendiri?”

Gadis itu menyeringai. “Karena aku tak bisa menyentuh benda nyata.”

Jin-goo ketakutan dan mundur. Dia menjatuhkan kotak dwikkoji itu.

“Ambil lagi! Atau kau akan mati tenggelam di Hyangwonji,” hardik Insun.

Jin-goo terjatuh ke tanah karena takut. Dia menoleh kebelakang, menyadari dirinya tepat berada di tepi pulau. Insun melangkah mendekati. Angin bertiup lagi, kali ini menebarkan bau busuk yang berasal dari Insun yang wajah menjadi pucat.

“Ambil lagi dwikkoji-ku dan pasangkan di rambutku,” jerit Insun.

Jin-goo ingin meloncat dan berenang untuk melarikan diri. Tapi sebelum itu terjadi, Jin-goo melihat bunga beterbangan di atas mereka. Bunga-bunga yang menjatuhi Insun, membuatnya kesakitan dan berdarah hingga terjatuh.

Jin-goo melihat seseorang berdiri tak jauh dari sana, Kim Sohyun. Dia melempari bunga peach dan mengenai Insun. Insun menjerit kesakitan lalu hilang.

Gwaenchana, Oppa?” tanya gadis manis yang mengenakan dress bahan wool warna pink itu.

Jin-goo berdiri dan menghampiri Sohyun. “Apa yang terjadi?”

Gadis berambut panjang lurus itu tersenyum. “Aku baru saja melakukan tantangan Dare dari Jibin Oppa. Dia bilang, Jin-goo Oppa didekati hantu. Aku harus menebarkan bunga peach[10] di dekat Oppa agar hantu itu pergi.”

“Apa kau melihat hantunya?”

Sohyun menggeleng. Lalu dia bercerita kalau Jibin bertemu seorang biksu di gerbang istana. Biksu itu mengatkan Insun adalah hantu seorang puteri yang namanya dihapus dari sejarah Joseon di abad 17. Dia dihukum mati bersama ibunya, seorang selir raja, karena bekerja sama meracuni putera mahkota. Jin-goo memerankan putera mahkota di drama Wangseja-ui Hwa, membuat hantu Insun muncul dari persembunyian di malam bulan purnama musim semi untuk balas dendam. Jin-goo dan Sohyun menatap sepasang dwikkoji yang tergeletak di tanah.

“Saat pingsan, putera mahkota selalu mengigau dan mengatakan : dwikkoji dan boksunga[11],” ucap Sohyun menuturkan cerita. “Lalu Insun menyembunyikan sepasang jepit rambutnya yang berbetuk bunga peach itu karena takut ketahuan.”

Keduanya tertawa kecil. “Gomawo, Sohyun-ah,” ucap Jin-goo.

Di seberang jembatan, seorang pria berpakaian serba hitam menyeret Insun pergi. Dia malaikat maut yang sebelumnya menyamar menjadi biksu. Mereka melesat jauh secepat cahaya.

012002000167

THE END


[1] Pakaian tradisional Korea

[2] Kakak, panggilan yang diucapkan lelaki kepada lelaki yang lebih tua

[3] Yang Mulia, panggilan untuk putera mahkota

[4] Jepit rambut wanita zaman Joseon yang disematkan di samping.

[5] Puteri

[6] Saya puteri Insun

[7] Putera mahkota.

[8] Rumah tradisional Korea

[9] Kakak, panggilan dari perempuan pada lelaki yang lebih tua di zaman Joseon

[10] Dalam mitos Korea, hantu takut pada bunga peach yang bisa melukainya

[11] Peach

Mianhae, buat pic Hyangwonji-nya gak nemu setting malam 😦

13 thoughts on “Wangseja-ui Hwa : THE PEACH BLOSSOMS

  1. bca ni cerita lsg part yg ni n diawal bca nyium bau2 horor udah de lsg komen ja, ga jd bca smpe slesai kkkkk jd merinding klo bca yg horor2 hihihi

  2. 언니야~~~
    Cerita keren, sangat detail *khasnya Chelsea Onnie banget* sehingga yang baca bisa merasa jadi bagian dari cerita ini

    Jujur aja pas baca yang bagian Jibin ketemu Insun ikuatn merinding, scene terakhir juga sama bikin merinding, untung aja Sohyun dateng, jadi Insunnya ilang

    1. Hello The Cuties 😉

      Well, aku hanya berusaha bayangkan suasana dan semua yang terjadi di TKP. Kekeke.
      Versi awal sebelum dipangkas, yg scene Jibin lebih serem.
      Tapi lupa gak save as, malah save. Hilang sudah 😥

      Thanks for reviewing

  3. Apa nie kisah nyata eonnie?? Iiiich kalo ea jadi penasaran ma film’y #plaaaak kalo da film’y…

    Sangat detail penjelasan’y…

    KO d’tunggu nie 😉

Leave a reply to aim Cancel reply